Cerita Penghilang Bosan PENANTIAN BERUNTUNG
PENANTIAN
BERUNTUNG
By
Chacha Asmad
Bekerja
sebagai pelukis dan pembuat bingkai membuatku lelah akan umur. Di usiaku yang
ketiga puluh lima tahun, aku belum juga menikah. Setiap kali ibu berkunjung, ia
selalu saja menyuruhku mencari pendamping hidup, namun tak ada perempuan yang
memikat hati si bujang lapuk ini.
“Assalamu’alaikum!”
suara salam membuatku kaget.
Aku
membalasnya lalu membuka pintu.……..Jantungku berdetak kencang, rupanya yang
mengucap salam kedua orang tuaku “ahh!!!Untuk apa aku seperti ini, mereka
adalah orang tuaku bukan senjata nuklir yang hampir merenggut nyawaku seketika”
bisikku dalam hati.
“Pak, Bu! Senang sekali rasanya
bertemu dengan kalian!” Sapaku dengan penuh hormat,
mencium tangan dan
memeluk erat mereka berdua.
Ayah
dan ibu masuk kedalam rumah. Sambil mencicipi kue buatanku, aku dan kedua orang
tuaku saling berbincang-bincang.
“Anwar, Ibu yakin kamu sudah tahu maksud
kedatangan kami kemari”
Dadaku
terasa sesak, pilu rasanya melihat kedua orang tuaku. Aku telah gagal dalam
studi, menjadi pengangguran, dan sekarang sebagai pelukis ulung dan pembuat
bingkai. Apa yang aku berikan tak sebesar pengorbanan mereka padaku selama ini.
“Selama ini kami melepasmu mencari jodoh
sendiri, tapi sekarang jangan menolak, biar
ibu sama bapak yang
melakukannya” kata ayah, nada bicaranya agak tegang.
“
Baiklah pak, kalau memang itu keinginan kalian, Anwar nurut saja,” jawabku
polos.
****
Kami tiba di depan
rumah Anita, gadis pilihan kedua orang tuaku. Keringat mengguyur tubuhku,
dingin mulai meringkus tulang-tulangku, aku melangkah dengan bismillah.
“Maaf, anda bukan laki-laki pilihan
saya, saya ini seorang guru, jadi calon suami saya juga
harus guru, kalau
pelukis, bisa makan apa saya.”
Sebuah
teguran kasar langsung menyayat kalbu. Kami telah hadir dalam bingkai ketulusan
tapi yang terjadi ini. Kami lanjut ke desa lain, melamar gadis yang dipilih
ibuku.
“Maaf anda bukan tipe saya, yang saya
cari itu PNS bukan pelukis!”
Teguran kedua datang menyambar, tubuhku gosong
terasa pahit, sepertinya memang tak ada
yang mau jadi
pendamping hidupku.
“Nak! yang sabar yah, maaf sudah
membuat kamu kecewa lagi,” Kata ibu mencoba
menenangkan hatiku yang
kalang kabut.
“Oh ia bapak masih punya pilihan
lain! Seru ayahku memberi semangat, dan akhirnya tanpa
putus asa kami
mendatangi rumah perempuan itu.
“Saya benar-benar minta maaf, tapi
keluarga saya miskin, kalau nikah sama orang pas-pasan
bagaimana hidup saya
nantinya”
Lagi-lagi ditolak
memang nasib belum ketemu.
“ Pak ini sudah yang ketiga
kalinya, bagaimana ini? Tanya ibu dengan wajah cemas melekat di pipinya yang
lonjong.
“Ia juga ya bu, oh iya!” Seru ayahku
dengan mata berkaca-kaca.
“Bu, Pak! saya benar-benar minta maaf bu pak, tapi
mulai sekarang izinkan saya mencari
pendamping hidup saya
sendiri” pintaku sambil bersujud di depan mereka.
Ibu
kembali menangis dengan derasnya, ia merasa telah memberi harapan sia-sia
padaku. Aku berdiri dan merangkul mereka berdua seraya berkata” kalian sama
sekali tidak memberikan harapan sia-sia justru aku bangga punya orang tua
seperti kalian”.
Suara
haru mengelilingi seluruh sudut rumah. “Asalkan matahari masih bersinar esok
hari, langkahku takkan berakhir,” bisikku dalam hati penuh semangat.
****
Tiba
di kota, tanganku ini langsung bekerja, tak ada kata menunda jika berada
didepan kanvas, cat minyak, kayu dan peralatan kerjaku yang lain.
Pagi
datang, alhamdulillah, aku masih bisa melihat pagi diusiaku saat ini. Aku
bergegas membuka pintu rumah. Sosok berambut gonrong berdiri di depan rumahku,
aku terkejut tak kepalang, mungkin saja dia preman yang hendak mengacak-acak
rumahku “ah tak baik su’uzhan!” bisikku dalam hati.
“Anwar, apa kabar, lama kita tak
jumpa Wan! Seru laki-laki itu.
“Anda mengenal saya?” Tanyaku heran.
“MasyaAllah Wan, ini aku rahman
sahabatmu!” Aku tersentak, rupanya laki-laki itu kawan
lamaku, tampangnya yang
acak-acakan membuatku tak bisa mengenalinya, aku mengajaknya masuk kedalam
rumah dan mengobrol dengan santai.
“Kamu sudah menikah belum War?” tanya
Rahman, menatapku serius. “Hm.... tak perlu
dijawab, semuanya sudah
terlukis diwajahmu, oh yah ngomong-ngomong ada seorang gadis yang sudah siap
untuk menikah, tapi belum juga punya pendamping yang cocok, dia cantik, masih
muda, dan dosen lagi, nah justru ini aku datang kemari, yah mungkin saja kamu
mau mencalonkan diri”
Aku
hanya diam termangu mendengar ucapan Rahman padaku, bukan tak senang tapi aku
hanya trauma dengan apa yang terjadi sebelumnya.
“Anwar, kamu jangan patah semangat
begitu, belum apa-apa sudah mengalah, sudahlah
coba saja dulu, sempat
ini memang jodohmu," kata Rahman seperti ia sudah tau apa yang ada
dikepalaku.
Melihat
Rahman yang seperti itu, aku berpikir untuk mencoba sekali lagi. Jika Allah swt
berkehendak siapa yang bisa melawan.
Keesokan harinya kami
tiba didepan rumah gadis itu
“Jadi nak Anwar serius mau melamar
anak saya?”
“Ia pak saya serius, tapi
sebelumnya bagaimana dengan anak bapak, yah saya kan cuma seorang pelukis ulung
dan tukang bingkai, kataku merendah
“Haha, kamu jangan pesimis begitu,
soal itu tidak masalah buat kami, apagi anak saya, yang
terpenting itu kamu mau
bekerja keras dan sayang sama anak saya, ,nah tunggu sebentar,aku akan
memanggil putri bungsuku dulu, Astrid! Kemari sebentar!
Aku
kaget mendengar nama itu, entah kenapa nama itu tak asing ditelingaku. Saat
gadis yang bernama Astrid itu keluar, aku melotot dengan perasaan
berbunga-bunga. Dia adalah gadis yang membangunkanku dua hari yang lalu, gadis
yang membuatku terbang kelangit ketujuh seketika,
“Maaf. Mbak bukan yang waktu itu kan?”
Dia hanya mengangguk
menjawab pertanyaanku, mungkin saja ia malu
“Anwar, kamu sudah kenal toh dengan
anak saya, ya sudah tunggu apa lagi, secepat
mungkin kabari orang
tuamu, bahwa kalian akan segera menikah bulan ini juga
Hari
ini adalah hari yang paling menyenangkan dalam hidupku, betapa tidak aku berada
dalam penantian beruntung. Rambu-rambu keluarga sudah menyalakan lampu
hijaunya. Dua minggu kemudian, janur kuning terpasang, sunnah nabi kutunaikan,
hakku tercapai, kewajiban orang tuaku telah terselesaikan.
Komentar
Posting Komentar